Membalong masih sepi, Sekolah rakyat satu-satunya tempat anak Membalong menimba ilmu. Bahkan pada tahun 1950, kantor Camat pun belum berdiri. Pak Makmun-Camat pertama di Membalong pun menumpang rumah dinas seorang Mantri Kehutanan. Empat tahun kemudian, barulah dibangun Kantor Camat Membalong yang kini digunakan sebagai Rumah Sekolah setingkat PAUD. Setahun kemudian (1954), Kantor Camat pertama resmi digunakan.
Suatu ketika, Asnawi Abas didatangi seorang dukun kampung. Anehnya, dukun kampung datang bukan untuk urusan menata kampung justru untuk memberi peluang pada warganya. “ Wi !, mau tidak magang tapi 3, 6 bulan atau 1 tahun belum dipastikan menjadi pegawai “, tanya Dukun kampung. Tanpa pikir panjang Asnawi pun menerima tawaran itu. Ia tidak menampik kalau pendidikannya tidak tinggi, hanya SD itupun hanya kelas 4. Perkara magang dengan gaji tak menentu ia abaikan. Kala itu, memang tidak banyak warga kampung yang bekerja kantoran.
“ Mual !. Jawaban itu saja sudah menunjukkan saya masih benar-benar orang kampung” ujar Asnawi mengenang awal karirnya sebagai PNS. Sejak itu, ia mulai bekerja dengan pemerintah. Ketekunan, dan jiwa melayani sedikit demi sedikit mengantarkan Asnawi menduduki jabatan layaknya aparatur. Jabatan Camat kerap berganti ia masih saja kerja ditempat yang sama. Sedikipun tidak membuatnya bosan. Justru ia mendapatkan banyak pelajaran dan pengalaman dari atasannya. “ Dulu mana mau orang pindah ke Membalong. Bahkan pernah ada pejabat dari Tanjungpandan yang ditawari segelas kopi ditolak. Mungkin takut “ kenang Asnawi mengilas balik pandangan orang terhadap Membalong yang berbau mistis. Bahkan ia masih ingat, ketika Camat Membalong meninggalkan tempat, Asnawilah yang menjadi pengganti. Memang saat itu Asnawi sudah ada di posisi Sekretaris Camat.
Rupanya, jiwa melayani tumbuh tidak hanya mendapat perhatian atasan namun juga warga. Pelayanan telah membuat Asnawi tidak lagi sebagai juru bersih di kantor yang kemudian menduduki jabatan cukup penting. Kali ini, ia didaulat menjadi seorang wali, wali masyarakat untuk duduk di kursi Dewan yang terhormat. Pada suatu periode politik, Asnawi pun diangkat menjadi anggota DPRD Kabupaten Belitung. Bapak yang terhormat disandang Asnawi tanpa pernah ia perkirakan sebelumnya.
Pendidikan ternyata satu-satu menapak jenjang karir. Ilmu bisa didapatkan dimana saja karena Sang Pencipta menebarkan ilmunya lewat lebah, semut, tumbuhan bahkan lewat batu karang. Dengan alam kita banyak berguru. Apapun pekerjaannya tentu bisa kita lakukan selagi ingin menggali ilmu. Alhasil Asnawi menjadi tokoh di kampungnya. Tak segan ia belajar dari pengalaman, dari orang-orang yang ia kenal. Buah dari ketekunan, dan pelayanan yang ia berikan, Asnawi menempati rumah dinas. Sudah hampir 38 tahun saya tidak pernah pindah tempat menjadi pertimbangan Sekda, Latif Jalil kala itu dan akhirnya rumah dinas yang ia tempati kini menjadi rumah pribadinya. Rumah itu pula yang mengingatkannya untuk selalu dekat dengan kegiatan ke-pemerintah-an sekalipun ia sudah lama pensiunan. “ Kalau ada kegiatan Pemilu seperti sekarang ini, saya seperti orang sibuk”. Keinginan untuk selalu meninjau, bergerak dan bertemu banyak orang membuatnya tak sadar dengan usia. “ Saya pernah jatuh, tapi saya ambil hikmahnya. Mungkin peringatan agar saya mengingat umur, mengisi kondisi badan. Sejak itu saya hanya duduk di warung sekedar menjadi teman kelakar orang menikmati kopi di warung anak saya ini. Sekarang pekerjaan saya hanya makan, berpantun dan berkelakar”, pungkas Asnawi. Senyum Pak Asnawi terkembang mengantar kami dan rombongan mengunjungi kampung yang siap menggelar pesta demokrasi (*).