TANJUNGPANDAN, DISKOMINFO – Baru saja Pemkab Belitung menerima Kunjungan Kerja (Kunker) Komisi D yang membidangi pendidikan dan kebudayaan DPRD Kota Depok di Ruang Rapat Bupati. Sebelumnya DPRD Semarang berencana datang ke Belitung, namun karena jadwal kunjungan mendekati pelaksanaan Pemilukada 2017 pada 15 Februari kemarin, kunker ditunda dan akan dijadwal ulang. Dibalik kunjungan tentu ada pesan dan kesan. Ini menunjukkan Belitung tidak hanya menarik minat wisatawan tetapi juga.
Kedatangan DPRD Kota Depok ini diterima hari ini, Jum’at, 17 Februari 2017 oleh Asisten Bidang Perekonomian dan Pembangunan, Drs, Jasagung Haryadi, Msi, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Sosial, Haziarto, Sekretaris Dindikbud, Paryanta, Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan, Destika Efenly.
Sejumlah isu publik ditanyakan mulai dari penyaluran dana BOS, pemanfaatan Kartu Indonesia Pintar hingga muncul pertanyaan dari anggota DPRD Kota Depok (PDI Perjuangan) terkait dengan kerukunan antar etnis khususnya antara etnis Melayu dan Tionghoa.
Depok dan Belitong pada dasarnya punya sejarah etnis yang panjang. Kisah para pendatang ke Belitong dilatarbelangi berbagai motif. Pada tahun 1850an perusahaan Billiton Maatschapij mendatangkan buruh tambang Cina dilanjutkan dengan mendatangkan perempuan Jawa agar buruh tambang betah. Dengan begitu terjadi akulturasi budaya. Meskipun niatan Belanda ini kandas kemudian.
Kisah pendatang ke Belitong juga di alami Depok. Hingga sekarang, orang mengenal istilah Belanda Depok dan nama Pondok Cina. Satu-satunya bangunan yang menerangkan jejak pendatang Cina di Depok hanyalah Rumah saudagar Law Tek Lok yang diwariskan kepada putranya yang bernama Law Chen Shiang yang punya derajat lebih tinggi dibandingkan pedagang Cina Bojong Gede. Ia memiliki jabatan Kapitan Der Chinezeen. Kini bangunan abad ke-18 berarsitektur Belanda di mall tempat saya bertemu dengan Indro, Mall Margo City. Sedangkan nama Pondok Cina yang kini menjadi nama salah satu stasiun kereta di Depok meninggalkan kisah, kisah para pendatang.
Law Chen Shiang beruntung memilki rumah dan jabatan kapitan karena dimasanya, pedagang Cina dilarang bermukim di Depok. Kondisi ini jauh dari peristiwa Gedoran Depok, Revolusi Sosial yang mencuatkan nama Margonda. Tentara yang menghalau Tentara NICA ketika Depok diserbu Belanda dan Sekutu dipinggiran ibukota antara Bogor (Buitenzorg) dan Jakarta (Batavia). Dari Batavia mereka berdagang ke Depok, saking jauhnya mereka keletihan untuk kembali lagi ke Batavia karena itu mereka mendirikan pondok-pondok kecil di pinggiran sungai Ciliwiang. Tempat istirahat para pedagang Cina inilah akhirnya menjadi daerah yang disebut Pondok Cina.
Jika dilihat dari aspek pemerintahan, Depok sejak lama memiliki otoritas mandiri dengan status “Gemeente Bestur“ (Pemerintahan Kota Depok). Bahkan Depok menganggap bukan wilayah Hindia Belanda bukan pula wilayah Indonesia karena ke-kurang tegas-an pemerintah Hindia Belanda sendiri. Chastelein-lah yang menjadi penguasa Depok. Cornelis Chastelein adalah tuan tanah yang mengusai hampir seluruh wilayah Depok bahkan Gambir (Watervreden) yang dulunya kebun kopi juga tanah kekuasaan Chastelein. Dialah penguasa Depok. Kekuasaannya diakui Gubernur Jenderal Belanda. Ia mendatangkan orang dari Bali, Ambon, Bugis, dan Sunda untuk mengolah kebun lada. Meski tuan tanah, ia tidak suka dengan praktek perbudakan karena dilarang Injil. Chastelein membuktikannya dengan membangun Tugu Anti Perbudakan (sekarang dekat Rumah Sakit Depok). Setelah Chastelein wafat (1714), ia mewariskan tanah Depok seluas 1240 hektar (sebagai perbandingan luas Desa Juru Seberang 12.000 hektar) kepada pendatang, kepada 12 marga yang sudah dikristenkan. Mereka adalah kelompok pribumi Kristen Protestan pertama di Asia. Mereka ini pula yang disebut ‘Belanda Depok’
Tentu saja, kisah para pendatang ini tidak dibicarakan saat Anggota DPRD Kota Depok berkunjung ke Belitung. Namun disetiap kunjungan kerja tentu ada ruang untuk berbagi ilmu untuk menata pemerintahan tentu sulit melakukan akulturasi budaya seperti hanya kedatangan pendatang Cina ke Belitung di era tambang. (fiet)