Sejak abad ke 15 hingga 2009, Tanjungpandan menjadi pusat administrasi, pusat kekuasaan, pusat ekonomi. Ada yang saling terkait ada yang menyebar ada pula yang bertahan apa adanya. Dilihat dari sejarah kepemerintahannya Badau (sekarang kecamatan Badau) tidak kalah penting dan cukup lama perkembangannya.
Badau pernah menjadi pusat pemerintahan yang dimulai dari Balok Lama, Balok Baru (Pelulusan) sebelum akhirnya ke Tanjung Simba (sekarang Desa Cerucuk kecamatan Badau). Sayangnya catatan sejarah yang mendukung aspek kepemerintahan tidak selengkap sejarah kota Tanjungpandan. Setelah Depati Cakraningrat VIII (KA.Rahad) memindahkan pusat pemerintah ke Tanjung Gunung yang berada di dekat muara sungai Siburik, Tanjungpandan menjadi kekuatan pendorong aspek kehidupan di Pulau Belitung
Secara geografis Tanjung Gunung menguntungkan terutama di era KA. Rahad, muara Sungai Cerucuk menjadi ramai. Lupalah sejenak petaka ayahanda (KA.Hatam-Depati Cakraningrat VII) yang dirongrong kekuasannya oleh Tengku Akil dari Siak itu. Batu Palembang, Tanjung Gunung, Padang Miring tak kalah mendukung posisi strategis Tanjungpandan yang menjadi Kampong Raje sebagai pusat pemerintah feodal berada .
Jika merujuk pada sejarah perkembangan kota-kota pesisir di Nusantara menunjukkan pusat pertumbuhan merupakan wilayah yang memiliki persilangan jalan, antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, atau lebih khusus, Benua Asia dan Australia. Dampaknya kota pesisir menjadi tempat persinggahan bagi pelayar dan pedagang terutama dari China ke India atau sebaliknya. Dan Tanjungpandan memiliki kondisi geografis semacam itu. Karena itu, pada Traktat London (1824) Sir Stamford Rafles (Inggris) menekan ambisi Belanda untuk menguasai Belitung karena mineral tambang (timah). Namun gagal dan Rafles melirik Singapura kemudian.
Selama abad ke 18 (semasa VOC) Tanjungpandan khususnya dan Belitung umumnya terisolosi dari kegiatan perdagangan dunia. Baru sejak Belanda Kapten La Motte (1821) dan kunjungan Sevenhoven pada tahun 1823 pulau Belitung menjadi perhatian Gubernur Jenderal di Batavia. Belanda pun menempatkan kekuasaan militer disertai dengan pendudukan sipil. Gubernur lantas mengangkat Von Bierchel sebagai Asistem Residen Belitung pada tahun 1823. Didepan Kantor Asisten Residen (kini menjadi Kantor Dandim) terdapat alun-alun yang dikenal dengan sebutan Padang Miring yang kini berdiri Gedung Nasional. Pada masa Bupati HAS.Hananjudin dibangunlah Kantor Kepala Daerah Tingkat I Belitung sebelum akhirnya pindah ke Desa Pangkalalalang Jl.A.Yani Tanjungpandan sekarang ini.
Berkembangnya kota Tanjungpandan sebagai pusat pemerintah, pusat administrasi dan pusat perekonomian tidak terlepas dari sejarah masuknya bangsa Cina baik sebagai kuli, guru, pedagang maupun sebagai petani ke pulau Belitung. Belanda memilih rumah pemimpin Cina (wijksmeester) sebagai pusat administrasi yang diawasi jawatan keamaan yang bertempat di Gedung Hopwa disampingnya dan Pasar loodsen (petak pertokoan) didepannya. Rumah pemimpin ini adalah milik Ho A Joen yang diangkat sebagai Letnan Belitung pada tahun 1852 dan terlama hingga tahun 1895. (Erwiza Erman,1995, hal 59 ). Umumnya Letnan Belitung tidak diberi gaji oleh pemerintah kolonial , tetapi ia dan keluarganya diberi imbalan ekonomi dan kedudukan yang menguntungkan. Mereka mendapat izin monopoli beberapa komoditi dagang seperti candu, beras, daging dan barang kebutuhan lainnya, Perkumpulan Dagang Cina, Hwa Siong Tjong Hwee di Tanjungpandan adalah bukti besarnya pengaruh Cina dalam perkembangan sektor perdagangan di Belitung.
Keberadaan bangsa Cina di Belitung meningkat seiring dengan terbukanya lokasi tambang yang dikenal dengan parit atau numpang. Namun kehidupannya kuli tambang jauh lebih sulit dibandingkan bangsa Cina yang mendapat keuntungan dari perdagangan. Mereka diawasi oleh kapiten Cina yang diangkat oleh Belanda. Kuli tambang yang didatangkan melalui pasar buruh di Singapura bahkan dijerat candu yang diperoleh melalui hutang candu. Hutang candu inilah yang merenggut hak mereka untuk kembali ke kampong halaman. Pada tahun 1915 terdapat 36 persen kuli harian (langkong) terjerat candu namun berkurang menjadi 4,9 persen pada tahun 1925. Di lapangan, Kuli yang hendak membuat tambang membentuk kongsi lebih dahulu. Setiap kongsi biasanya terdiri dari 4 sampai 5 pemilik saham. Kepala tambang atau kepala kongsi disebut juga kepala parit. Setiap kongsi memilik rumah kongsi yang bentuknya sama dengan bentuk rumah kongsi Cina di di Bangka, yakni sebuah rumah panjang yang terdiri dari banyak kamar. Sebelum abad ke-20 bentuknya sangat sederhana, atapnya ditutupi alang-alang, dindingnya terbuat dari ranting-ranting kayu. Setelah abad ke-20 ,perusahaan mulai membangun tempat tinggal kongsi dan bentuknya sudah setengah permanen dilengkapi ruang dapur, ruang makan dan tempat peribadatan
Karena solidaritas suku, perantau Cina membentuk perkumpulan rahasia bernama Tjhioeng Pak Kon. Pada tahun 1890-an, perkumpulan pertama perantau Cina sudah memiiki 8.000 anggota. Pada awalnya perkumpulan rahasia ini sebagai sebagai organisasi sosial semata, namun kemudian menjadi wadah bagi berbagai kepentingan, politik, ekonomi, dan budaya. Akhirnya pada 1890 oleh pemerintahan Hindia Belanda melarang kehadiran perkumpulan rahasia.
Pemerintahan Hindia Belanda juga memperkuat intervensinya terhadap perusahaan timah (Billiton Maatschappy yang berubah menjadi NV.GMB) antara lain dengan menerapkan peraturan hubungan kerja yang dituangkan kedalam Koelie Ordonantie seiring dengan perpanjangan konsesi pertama (1852-1892). Konsesi didasarkan Indisch Saatblad No 6, artikel 1 dengan modal awal f.500,000. Pada konsesi pertama Pemerintah colonial mendapat 3 persen dari hasil penjualan kotor timah dan pada tahun 1892, keuntungan pemerintah berlipat ganda menjadi 67,5 persen dari keuntungan bersih timah yang sudah terjual
Diimpikan sebagai tanah harapan dengan limpahan emas hitamnya (timah), ternyata tidak seindah yang dicita-citakan oleh buruh migran Cina. Yang menikmati tuah timah justru para elite baik elite Belanda maupun elite Cina sedangkan kuli tambang Cina bertahan sebagai kuli tambang di parit-parit. Mereka bermukim di kantong-kantong produksi di distrik-distrik dengan kondisi yang memprihatinkan.
Ketimpangan antara pekerja tambang di wilayah produksi dan para elite yang bermukim di pusat kota berlanjut pada saat perusahaan tambang timah itu dinasionalisasikan menjadi PT.Timah. Pada umumnya elite Eropa dan Cina ini bermukim di pusat kota Tanjungpandan. Hidupnya berkecukupan. Gedung Societeit dibangun, sebagai tempat pertemuan dan hiburan kaum elite. Bahkan gaya hidup Eropa menjadi ukuran kemapaman. Pada tahun 1854 jumlah orang Eropa hanya 13 orang namun tahun 1930 menjadi 611 jiwa (Regeeringsalmanak, 1870-1930). Jika administrasi Belanda memiliki Hoof Administrateur untuk mengendalikan perusahaan, etnis Cina memiliki seorang Kapiten untuk mengendalikan kuli-kuli tambang Cina.
Sudah menjadi strategi kolonial, menguasai wilayah dengan mengendalikan pemimpin, begitupun Kapiten Cina selalu dikendalikan dan ditekan untuk mengendalikan lagi kepala parit dipelosok pulau. Kalaupun bangsa Cina di Belitung mendapat pencerahan ini hanya untuk para pedagang. Guru-Guru didatangnnya, gedung sekolah Cina di didirikan juga atas prakarsa kelompok pedagang.
Pada tahun 1991 PT,Timah (sebelumnya bernama PN.Timah) melakukan restrukturisasi organisasi yang dilatarbelakangi masalah biaya produksi yang tinggi untuk mengoptimalkan deposit tambang. Sementara biaya non produksi juga membengkak karena membiayai sarana dan prasarana yang tidak terkait dengan proses produksi. Dan sejak itu, pengaruh timah terhadap elite kekuasaan meredup. Poros elit digantikan dengan petinggi di Pemerintah Daerah Tingkat I Kabupaten Belitung. Karena berada dibawah di wilayah provinsi Sumsel, intervensi Provinsi Sumsel menentukan perkembangan Pulau Belitung.
Memasuki era reformasi, Kabupaten Belitung tidak lagi bergantung pada kekuasaan elite di Provinsi Sumatera Selatan. Belitung beridiri sendiri dan memekarkan diri menjadi dua kabupaten, Belitung dan Belitung Timur. Kini dengan undang-undang otonomi daerah, Kepala Daerah tidak lagi ditentukan oleh pemerintah pusat. Untuk memilih pemimpin, partai politik menggusung banyak calon. Elite partai pun bekerja, menanamkan pengaruhnya dikantong-kantong suara.
Desentralisasi memperkuat Tanjungpandan sebagai poros kaum elite. Sejumlah tempat yang menjadi pusat kekuasaan antara lain, Kampong Raje tempat Depati bermukim, kantor Asisten Residen tempat dimana Belanda menguatkan pengaruh administrasi, Hoofkantor tempat Hoofdadmistrateur tambang mengendalikan produksi timah hingga beridiri kantor Bupati di desa (kini kelurahan) Lesung Batang ( ( Fithrorozi)
Catatan Sejarah ini dikumpulkan oleh Komunitas Telinsong Budaya yang sebagai besar bersumber dari Buku Kesenjangan Buruh Majikan, Erwiza Erman,1995