TANJUNGPANDAN, DISKOMINFO – Untuk ketiga kalinya, Korps Alumi Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Belitung membangun dialektika bertema “Polemik Guru Tidak Tetap dan Pegawai Tidak Tetap“ di Hotel Harlika Tanjungpandan, Sabtu (18/3) diulas dari sudut pandang pemangku kepentingan bidang pendidikan, hukum dan budaya.
Menjadi diskusi di dunia maya, menjadi polemik GTT dan PTT ini perlu didiskusikan di dunia nyata. Pasalnya sejak terbit Permendikbud Nomor 75/2016, 30 Desember 2016 lalu, ketentuan yang belum sepenuhnya disosialisasikan sudah menjadi acuan. Kepsek SMKN 2 yang juga Ketua MKKS SMK, Erwin Pranaja menyikapi penegasan dari Staf Kemendikbud yang menyebut Permendikbud berlaku tahun ini (2017). “Seharusnya yang membuat aturan tahu betul masalahnya (sosialisasi). Pada pasal 14 dari Permendikbud jelas disebutkan tidak langsung berlaku tapi setahun kemudian 30 Des 2017.“ kata Erwin. Ia bahkan menegaskan bahwa pasal 50 dan 51 PP 28/2008 dengan jelas menyebutkan sekolah dapat melakukan pungutan dan Komite Sekolah yang memungut sebelum dikeluarkan aturan tersebut (Permendikbud) harus menyeseuaikan dengan aturan ini. Ketentuan dari Kepmen juga disebutkan istilah penggalangan dana.
Praktisi media yang sempat hadir dalam diskusi menyayangkan kenapa ini menjadi polemik. Begitupun guru menyayangkan ketentuan yang semestinya berlaku tahun depan menjadi bahan berita. Imbasnya guru honorer bingung, Komite Sekolah pun sama dikarenakan Permendikbud melarang pungutan di sekolah. Untuk memberikan gambaran beban gaji, Kepsek SMAN 1 Tanjungpandam Haryanto menjelaskan keberadaan 2 guru olahraga yang mengajar untuk 63 jam di banyak kelas. Jika dibagi, masing-masing terbebani dengan 31 dan 32 jam mengajar. Sementara tidak ada ABPB untuk menambah guru honorer. Hal ini juga terjadi pada 2 guru Fisika yang wajib mengajar sekitar 50 jam. Belum lagi pengganti guru yang pensiun. Komite Sekolah membantu namun pemasukan dananya tida sesuai kebutuhan. Namun Disdikbud Kabupaten Belitung tidak tinggal diam. Pada tanggal 7 Maret 2017 lalu, Disdikbud menindaklanjut informasi yang diterima masyarakat dengan melakukan pertemuan dengan para Kepala Sekolah dan Komite Sekolah. Kesimpulannya, GTT dan PPT perlu diberikan payung hukum.
Sekretaris Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Paryanta menduga hal ini dikarenakan Informasi yang diterima sepotong-sepotong hingga muncul banyak tafsiran. “Ada 3 hal yang perlu ditegaskan terkait sumbangan di sekolah. Pertama, jumlah dan waktu pungutan tidak boleh ditentukan atau membuat rapot ditahan misalnya. Kedua, sumbangan diperbolehkan dan ketiga boleh berupa bantuan” jelas Paryanta. Menurut Paryanta, Permendikbud ini berbeda dengan substansi UU Pendidikan yang menyebutkan bahwa pendidikan bukan semata-mata tanggungjawab pemerintah. Jika ditanggung dari pemerintah jumlah dana yang dibutuhkan berkisar 10 milyar setahun pemerintah daerah. Sementara jumlah sekolah di Belitung SMP saja ada 22 sekolah, dan SMK/SMA sekitar 16 sekolah.
Ditanya moderator, kenapa Komite Sekolah tidak mencari dana dari luar bukan dalam (wali murid)? Menurut Paryanta, di luar (Jakarta) perusahaan yang mendukung kegiatan sekolah, berbeda dengan kondisi perusahaan di Belitung. Bahkan di Singapura, Komite Sekolah yang menentukan seragam sekolah, mengecat dinding sekolah juga Komite Sekolah. Karenanya, keberadaan Komite penting peran bagi untuk membayar gaji GTT dan PTT apalagi tahun depan, Pemerintah Provinsi tidak mengalokasi anggaran DABA ke Kabupaten. Alasannya karena tanggung jawab Provinsi sudah membiayai SMA/SMK. Kalaupun ada bantuan, dialokasikan untuk 4 komponen diantaranya guru terpencil sebesar Rp500 ribu per bulan, bantuan kualifikasi tenaga pendidik sebesar 1 juta per bulan, dan bantuan bagi guru sekolah inklusi untuk anak berkebutuhan khusus.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Irfan Mauran dalam satu kesempatan sempat mengutarakan bahwa persoalan GTT dan PPT agar ditanggapi dengan bijak. “BOS yang membiayai gaji mereka itu hanya 15%. Akan besar untuk sekolah di kota tapi di desa, di daerah terpencil dengan jumlah murid yang sedikit, haruskah mereka juga mendapatkan gaji kecil” tanya Irfan.
Terkait dengan akibat hukum yang ditimbulkan. Inisiator diskusi (KAHMI) mengundang pihak Kejaksaan Negeri yang diwakili oleh Anggoro. Anggoro menjelaskan bahwa polemik yang bermula dari berita pungutan sebesar 50 ribu di SMK Badau ini baru sebatas konfirmasi, bukan sedang dilakukan penyidikan. “Belum ada Sprindik (Surat Perintah Penyidikan), jadi tidak perlu khawatir. Selain itu harus dilihat juga relevansinya dengan peraturan yang lain, hirarki perundang-undangan” kata Anggoro.
Menurut Anggoro, justru persoalan degradasi moral pada generasi muda yang perlu diperhatikan “Mirisnya kalau Belitung menjadi Kawasan Ekonomi Khusus namun tidak bisa menyelesaikan persoalan gaji pendidikan. Meningkatnya anak putus sekolah perlu diperhatikan apalagi banyak kasus hukum berawal dari persoalan miras. Kasus moral kita tidak kritis, sebaliknya masalah biaya sekolah dikritisi.” Kata Anggoro. Untuk mensiasati penerapan Permendikbud, Anggoro mengkaitkan fungsi pelayanan hukum Kejaksaan. “Kita sering melakukan sosialisasi ke sekolah dan memungkinkan untuk membuat MOU di bidang hukum“ tambah jaksa yang juga punya orang tua yang berprofesi sebagai guru.
Guru Honorer yang hadir, turut memberikan pendapat. Guru honorer di SMAN 2 Tanjungpandan berhadap ada kebijakan yang bisa diambil dan tidak selalu melihat polemik dari pendekatan hukum. Guru Honorer SMKN Badau, Reja Novian justru mempersoalkan beban mengurusi administrasi yang membuat fokus mengajar berkurang. Sedang guru honorer di SMKN 2 Tanjungpandan melihat perlunya bahasa yang benar dalam mensosialisasikan kebijakan pendidikan agar tidak menimbulkan polemik yang membingungkan GTT dan PTT.
Kelekar Kun KAHMI ketiga ini akhirnya ditutup dengan catatan akhir yang dibacakan Farid Wajdi. Polemik terkait pungutan Komite Sekolah dan poleik GTT dan PTT sebaiknya diakhiri karena polemik yang terjadi lebih dikarenakan informasi yang diterima masyarakat sangat parsial (sepotong-sepotong). Pungutan dibutuhkan selagi tidak dipaksakan karena tanggung jawab pendidikan itu merupakan tanggung jawab bersama. Polemik ini hanya riak yang menjadi gelombang besar dalam dunia pendidikan kita justru masalah degradasi moral. (fiet)