Ketika Pak Long Ngenangkan Suke

Kalau jadi angkasawan, Ipin akan membawa gasing dan mainan ke luar angkasa.  Serial kartun Upin Ipin mengingatkan kita pada masa anak-anak dulu ketika smartphone belum menjadi kitab bagi anak-anak jaman sekarang. “Dulu, kami bebas bermain, makan buah perai atau mandi di tebat Kik Juling” ujar Pak Long Yusron (57) mengenang masa  anak-anaknya di Kampong Aik Sagak. Kala itu, Pak Yusron berusia 7 tahun tahun namun ia bisa merekam berbagai perisitiwa sosial,politik dan pembangunan.

Dibawah tahun 1970, Kampong Aik Saga dipimpin oleh Lurah Kik Tapot. lalu digantikan oleh Lurah Rahman,  Lurah Ibrahim, Lurah Amat TA. Setelah itu sebutan Lurah berganti menjadi Kepala Desa, Air Saga dipimpin oleh Kades Umar Nawasin, Saleh, Maryuti, Jarwo, Elisnawati dan sekarang dijabat oleh Halim. “Pembangunan Kantor Lurah pertama kali dimasa kepemimpinan  Ibrahim, sekarang kantor BPD di depan Hotel Bahamas “ kenang Pak Long Yusron. Rekaman perisiwa masa lalu yang begitu kuat, membuat Pak Long Yusron merasa hidup ini begitu cepat berlalu.

“Dulu ada tiga bes sepanjang ruas jalan dari Simpang ke Ambong ke Pantai Tanjongpendam,  bes Kik Enjit, bes Kik Ahad (sekarang: disamping toko oleh-oleh ‘Oke Keluarga’), bes Kik Irot Ahad  (sekarang disamping hotel Grand Pelangi)”. Dari tiga hanya bes Kik Enjit yang ditutup semenjak berdiri hotel berbintang. Kalau melewati bes kami harus hati-hati. Konon katanya, bes dan pohon besar dijaga oleh mahluk penunggu (penjaga) ”kenang Yusron mengenang tempat-tempat yang ditakuti di masa kecil. Sebutan  penunggu, dan penebok sengaja disampaikan kepada agara anak-anak menjaga perilaku. Penunggu atau penebok itu semacam Hantu Gergasi yang diceritakan dalam serial televisi Upin dan Ipin.

Tidak hanya anak-anak, orang dewasa pun wajib menjaga sikap dibatas-batas kampong atau batas perdukunan termasuk di aliran air. Alasannya karena air sumber kehidupan dan jadi penanda  batas wilayah. Ketika batas wilayah rusak maka yang memimpin wilayah (dukun kampong) kesulitan menjaga wilayah. Peran dukun dalam menjaga  aliran air sama pentingnya dengan Bupati membangun jalan.

Untuk mengenal nama tempat, sejumlah nama dari tokoh dijadikan penanda. Karena jasa baik Kik Hasyim yang mewakafkan tanah untuk mesjid, melekat nama Surau Kik Hasyim, begitupun nama Kik Ahad, Kik Enjit, Kik Irot, Kik Abok ataupun rumah Nek Titit. Bahkan nama besar Nek Titit dan Kik Enjit tidak hanya populer di Kampong Aik Sagak. Berkat kepiawaian Kik Enjit meracik akar-akar kayu banyak berdatangan orang dari Ibukota yang ingin berobat tak terkecuali kampong. Sama halnya Nek Titit. Beliau dikenal karena pandai mengobati  penyakit putikan mate. “Putikan mate itu gangguan pada bagian putih mata karena ada bercak merah.   Untuk menghilangkan bercak merah, Nek Titit biasanya mencongkel bagian punggung dengan jarum. Lalu keluar semacam lendir panjang menyerupai benang” kenang  Pak Long Yusron. Alhasil pasien sembuh, namun orang seperti Nek Titit dan Kik Enjit tidak menetapkan tarif kecuali meminta pasien membawa mangkok putih dan kain pute sebagai syarat.

Kampong Aik Saga bukan sekedar daerah lintasan.  Banyak catatan sejarah mengungkap peran penting Aik Saga dalam dinamika kehidupan politik berbangsa, dan menjadi pusat pendidikan. Sayangnya kenangan masa lalu  itu seperti terlupakan. Dan kisah Pak Long Yusron ‘ngenangkan suke’ mengingatkan kembali peran Kampong Aik Saga. Di kampong ini pernah berdiri sekolah Pendidikan Guru Agama (PGA) setingkat SMP  pertama di Belitung sebelum akhirnya vakum lalu  dimanfaatkan untuk BKIA (Balai Kesehatan Ibu dan Anak).  “Pendidikan agama bagi anak-anak dulu berpusat di Surau Haji Hasyim (sebagian menyebut surau Kik Abok). Pada malam hari kami biasanya belajar ngaji, sembahyang disana tak jauh dari surau berdiri sekolah Pendidikan Dasar Agama Islam (PDAI) semacam TPA. Siang hari sekolah digunakan sebagai ruang kelas tambahan SDN 7 Tanjungpandan. Ruang kelas 1, 2 dan kelas 6 ada di sebelah Lapangan Bola IPAS (klub bola kebanggaan warga kampong Aik Sagak)” kenang Pak Long Yusron

Dikatikan dengan kehidupan politik berbandasa dikarenakan Kampong Aik Sagak pernah disibukkan dengan peristiwa Konftrontasi Indonesia dan Malaysia  (1962-1966). “ kendaraan militer lalu lalang, tank-tank berjejar bahkan ada pangkalan helipad ada. Dulu di sekitar surau Kik Hasyim “ kenang Yusron.

Banyak peristiwa yang terjadi sepanjang tahun 1960an mulai dari peristiwa G 30 S/PKI hingga konfrontasi Indonesia-Malaysia namun bagi anak seusia Yusron lebih menyeramkan penebok atau penunggu pohon sentul. Meski demikian, rekaman peristiwa di tahun 1960an terekam jelas.  “Dulu ada mobil bak chevrolet melintas berisi orang yang dicurigai terlibat  organisasi terlarang. Mereka dikarungi. Di kampung-kampung ditempatkan Pos Keamanan Desa (PKD) seperti Pos Kamling tetapi untuk tempat penjagaan orang yang dicurigai anggota organisasi terlarang. Di pusat kota acakapkali terlihat tentara meletakkan standbrend G3 buatan Soviet atau  Stand Chung buatan RRT” kata Paling Yusron ngenangkan suke.

Seiring waktu, suasana mencekam mulai hilang dari pandangan. Tentara AURI di Sungai Padang memang masih ada tetapi sekedar menjaga instalasi radar pasca konfrontasi. Pembangunan mulai dirasakan “Waktu itu saya sudah besar, sudah menjadi sopir. Hampir setiap bulan ada pasar malam. Biasanya  yang menggagas pasar malam itu  Pak Jarot (Komandan AURI)  Kalau sudah ada pasar malam pedagang kecil sibuk mencari tempat jual tak kecuali Budin, Kantak, Gatot Sekak dan Bahawal Membalong yang menjajakan jajak muhok andalannya” kata Pak Long Yusron ditimpali Pak Tabrani ngenangkan suke.

Banyak saksi sejarah menyebutkan bahwa  dana pembangunan terbatas yang membuat pembangunan di kampong lebih mengandalkan kebersamaan terutama di era Bupati Wahab Aziz  “Jalan aspal juga terbatas. Baru setelah  tahun 1970an banyak jalan yang diaspal seperti jalan Jalan Kik Ase (sekarang jalan Lettu Mad Daud)”

“Dulu, dari  Simpang Kik Abok hingga ke Batu Itam masih jalan tanah. Pada tahun 1971, di masa Bupati HAS. Hanandjoedin barulah diaspal. Kampong Aik Saga itu luas, dari Tanjungpendam (sekarang ) hingga Batu Itam” kenangnya.

Luasnya dari Tanjungendam hingga Batu Itam sebelum dipecah dua menjadi dua desa, desa Air Saga dan Desa Tanjungpendam lalu Desa Tanjungpendam meningkat statusnya menjadi Kelurahan sedang Kampong Aik Sagak masih menjadi desa. Kini rona wilayah Kampong Aik Sagak berubah, berderet hotel dibangun disepanjang jalan Patimura begitupun usaha masyarakat. Wisatawan lebih mengenal nama restoran, hotel sebagai penanda tempat (fiet)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *