MEMBALONG, DISKOMINFO – Seliu (baca Seliuk), nama pulau di wilayah Membalong itu ternyata punya arti lain. Suku lanun mengartikan Seliuk untuk sebutan tempat terpencil. Sejawat dari suku Lanun juga mengartikan nama pulau Kalimambang. Katanya berasal dari bahasa lanun yang berarti kupu-kupu.Terlepas dari sejarah kata, pulau Seliu memiliki sejarah perdagangan yang cukup panjang.
Penasaran dengan ‘keterpencilan’ pulau Seliu, Dinas Pariwisata Kabupaten Belitung mencoba menggali potensi wisata pulau, tentu menginap. Ternyata dengan pengalaman sehari-semalam di pulau Seliu terungkap banyak tradisi lokal yang menarik dilirik. Nanti dulu, bicara lahan karena pulau yang seluas 1.530 hektar untuk sudah mulai dipetak-petak menjadi kawasan wisata kecil-kecilan. Benar tidaknya berita itu, Achmad Hamzah tokoh budaya yang ikut dalam rombongan ‘urang dinas’ tidak banyak bercerita kecuali mengulas pekarangan rumah tua, tawa canda anak-anak kecil mengejar ikan di malam dan segala pernak pernik kehidupan sosial-ekonomi masyarakat.
Tradisi masyarakat di pulau Seliu memang tidak banyak diekspos, orang kota hanya tahu Seliu penghasil kepiting yang produktif tapi bagaimana tradisi menangkap kepiting tak banyak diulas sama halnya tradisi menangkap ikan di malam hari. Uniknya lagi, justru kaum perempuan yang lebih terampil ngembubul (memperbaiki) pukat atau alat tangkap jaring ketam. Setelah melihat bangunan rumah tua yang mulai rapuh barulah terpikir, jangan-jangan sejawat dari Sabah Malaysia yang mengaku dari suku Lanun itu benar. Seliu dimaknai tempat terpencil. Meski begitu, melihat ibu-ibu yang terampil memperbaiki alat tangkap, sebutan terpencil itu lunas dengan produktivitas masyarakatnya. Ini menjadi modal jauh bernilai.
Menurut Achmad Hamzah banyak tradisi ditinggalkan karena masyarakat menilai kurang praktis dan lambat mendapatkan keuntungan. Motif ekonomi inilah yang menggeser nilai-nilai tradisi di pulau seliu. “ Tradisi ngemping baguk sudah bergeser menjadi tradisi ngembubul pukat, karena cepat menghasilkan uang. Kalau pun bertahan, hanya untuk kebutuhan dirumah saja “ katanya.
Masyarakat Seliu tentu menepis anggapan Seliu sebagai pulau terpencil karena dalam Seliu punya peran penting dalam sejarah perdagangan dunia. Hal ini dapat dilihat dari perspektif hubungan niaga dimana Seliu memiliki jalur niaga Singapura, dari bahan bangunan rumah tua pun dipastikan Seliu memiliki neraca perdagangan, ekspor kopra ditukar dengan komoditas impor dari Jakarta bahkan Singapura. Besertaan dengan desa pesisir Tanjung Binga, Seliu juga pernah memili unit koperasi yang disegani. Artinya, dari aspek ekonomi Seliu telah menepis stempel pulau terpencil.
Lalu kenapa potensi wisata berbasis tradisi yang begitu besar tidak tergarap. Bak bangunan tua, eksotik namun rapuh. Merasa penasaran, Dinas Pariwisata kembali datang dengan pendekatan sosial menggunakan jalur Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) ‘Nyiur Melambai’ Seliu. Ruang Bidang Destinasi Wisata, Dinas Pariwisata Kabupaten Belitung pun menjadi senyap. “ dari tanggal 21-22 Maret 2017 mereka ke Seliu pak. Ada pembinaan Pokdarwis disana ”
Tahun 2017 ini, Dinas Pariwisata gencar melaksanakan kegiatan Revitalisasi Pokdarwis. Narasumber yang dihadirkan tidak hanya berbicara terkait tema pariwisata saja tetapi juga mempertimbangkan aspek hygien dan sanitasi. Seperti yang diungkakan Elmiati,STP dari Sekretaris Forum Kabupaten Sehata (FKS) Belitung “ fokusnya pada homestay dan tata lingkungan sehat “ kata Elmiati usai memberikan materi di Balai Desa kepada Pokdarwis setempat. Bangunan eksotik rumah tua, memiliki daya tarik luar biasa jika dijadikan homestay. Selain Elmiati dan Muliani yang memotivasi anggota Pokdarwis, kegiatan Penguatan Kelembagaan Pokdarwis Menuju Desa Wisata ini juga menghadirkan praktisi Sugeng Handoko dari Ekowisata Gunung Api Purba Nglanggeran, Yogyakarta.
Dan pemanfaatan rumah tua ini rupanya sudah lama dibicakan oleh kelompok muda yang ingin Pulau Seliu berkembang menjadi desa Wisata. Menurut Achmad Hamzah, tokoh pemuda disana pernah melontarkan gagasan mendirikan Museum Kopra.
Dari cerita, Pak Saleh tokoh adat setempat beroleh cerita kalau nama Seliu itu berasal dari liu-lit. Sebelumnya nya dikenal dengan sebutan Pulau Cempedak, karena banyak pohon cempedak. Lalu karena kampung yang sepi mesin kendaraan, yang paling banyak didengar adalah suara gesekan as gerobak, liuuu….liuuuu, disebutkan Seliu. Meski berumur, Pak Saleh mau terlibat dengan Pokdarwis yang didomiasi anak-anak muda. Seperti yang ditirukan Pak Ahmad, ia mendukung pendirian Musium Kopra. “ Kan saya suguhi atraksi nyulak kelapa jika turis datang” kata Saleh mengenang masa kopra. Tidak hanya koperasi, kopra pun telah membuat orang-orang Cina hidup dan mati di Seliu. Mereka dulunya berkerja mengolah kelapa menjadi kopra. Karenanya banyak rumah beraristektur Tionghoa di sana.
Mencermati latarbelakang sejarah, traidisi dan keinginan yang kuat dari warga Pulau Seliu, bukan mustahil, Seliu akan menjadi destinasi andalan di sisi Selatan pulau Belitong. “ Tujuan penguatan dari pembinaan Pokdarwis inipun tidak lain untuk menguatkan Kelembagaan Pokdarwis hingga menjadi motor penggerak begitu menjadi Desa Wisata “ pungkas Natasia, Kasi Dinas Pariwisata Kabupaten Belitung (fiet)