SIJUK, DiSKOMINFO – Sejak terbentuk di bulan April 2014, Desa Wisata ‘Kreatif’ Terong, sudah menerima lebih dari 100 pengunjung. Bahkan baru-baru ini ada yang memanfaatkan homestay Desa Wisata ‘Kreatif’ Terong untuk tujuan dharma wisata.
Selama 3 hari dari 23 hingga 25 Maret 2017, dosen dan mahasiswa STP Bandung (Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung) menginap di homestay Desa Wisata ‘Kreatif’ Terong. “Seluruhnya 23 orang. Ada 3 orang dosen pendamping dan 20 mahasiswa“ ujar Suwandi, Ketua LWG DMO Belitung yang juga pengelola Desa Wisata ‘Kreatif’ Terong.
Mereka tinggal di homestay milik masyarakat dan sehari-hari melakukan yang biasa dilakukan warga desa. Mereka melakukan aktivitas layaknya warga lokal yakni ngeremis, makan bedulang bersama-sama atau menanam dan memanen sayuran. “Desa wisata memiliki beberapa paket yang ditawarkan mulai dari paket wisata tradisi seperti ngeremis, makan bedulang hingga paket agrowisata (menanam dan memanen sayuran) dan meng-eksplor bukit Tebalu“ ujar Suwandi.
Berwisata ala mahasiwa STP Bandung tergolong unik. Mereka bukan saja memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat desa Terong, lebih dari itu keberadaan dosen dan mahasiswa mampu merubah suasana desa layaknya suasana di lingkungan kampus.
Rumah singgah bercorak tradisional yang ada di lokasi wisata Aik Rusak Berehun lebih ramai dari biasanya. Ini mengingatkan suasana di rumah kampung dahulu dimana sanak keluarga berkumpul, bersantap bersama dengan sajian dulang berisi aneka makanan tradisional diatas bentangan tikar lais.
Sepulang dari kebun sayur atau ngeremis di pantai, dosen dan mahasiswa ini berkumpul bersama warga. Mereka menggelar diskusi tentang bagaimana mengembangkan pariwisata berbasis masyarakat, tentang bagaimana pemerintah desa Terong merubah pola mata pencaharian masyarakat dengan berbagai pendekatan keilmuan. Praktis masyarakat cepat akrab dengan mahasiswa asal Paris Van Jawa itu. Sebutan lain dari Kota Bandung.
Awalnya, tak banyak mengenal desa Terong sebagai destinasi wisata, bahkan ketika arus wisatawan ke Belitung meningkat, desa Terong hanya menjadi lintasan tetapi kini nelayan, petani dan pemuda desa mulai sadar potensi alam. Bukit Tebalu yang dulu hanya dianggap onggokan batu, mulai dipromosikan sebagai salah satu geosite yang menjadi bagian dari pengembangan Geopark Pulau Belitong. Begitu pun mangrove dan kawasan pesisir pantai beserta tradisi mulai dikembangkan. Karena pengembangan geopark atau taman bumi merupakan perpaduan dari tritunggal unsur yakni geologi, budaya dan keberagaman hayati.
Ketika Yayasan Terangi, ICCTF bersama Bappenas memaparkan konsep pengembangan Belitong Mangrove Park di Ruang Rapat Bappeda (24/3), Suwandi menyampaikan pandangannya terkait intengrasi wilayah pengembangan dan solusi menyeluruh mengatasi kerusakan lingkungan. Menurutnya kerusakan terumbu karang berlatar pola pencaharian masyarakat yang sama. Maka ketika satu objek ditangani semestinya berlanjut ke objek karena merupakan satu kesatuan. “Ketika kita fokus ke lokasi Juru Seberang, bagaimana pihak Terangi (Yayasan Terumbu Karang Indonesia) menjaga terumbu karang secara utuh satu kawasan pulau Belitong” tanya Suwandi.
Pandangan Suwandi terhadap perlunya integrasi antara wilayah perencanaan ternyata diterapkan dalam pengembangan Desa Wisata ‘Kreatif’ Terong. Ada beberapa kelompok masyarakat yang dilibatkan dalam pengembangan Desa Wisata mulai dari pemilik homestay, petani, nelayan hingga seniman gambus yang tergabung dalam sanggar ‘Umbak Berayun’ yang dipimpin Akil Bujang (fithrorozi)