TANJUNGPANDAN, DISKOMINFO – Sampah seringkali dianggap sebagai onggokan tak berguna, namun di tangan Suyatno sampah menjadi komoditas yang bernilai. Tidak hanya membantu warga, namun yang tak kalah penting bisa menghidupi keluarga. Kisah sukses Yatno mengatasi persoalan sampah ini terbilang unik namun kini jejak Yatno yang sudah hampir 10 tahun menangani sampah mulai diikuti.
Ayah dua anak ini, awalnya hanya seorang pedagang kecil, memiliki warung dan menjalani rutinas sebagai pengerit bensin. Sampai suatu ketika ia berhasil meyakinkan sang istri untuk menjadikan sampah sebagai mata pencaharian utama. Yatno dan istri sepakat mengagunkan Surat Keterangan Tanah (SKT) sebagai modal usaha. Pinjaman bank sebesar Rp. 25 juta itu digunakan untuk membeli mobil angkutan pengangkut sampah. Sebuah mobiil bak (kijang kotak) bekas. Seiring perjalanan usaha, mobil bak itu tak layak mengangkut sampah yang menggunung. Dan kini ia memiliki mobil baru, baru keluar dari showroom. Caranya memiliki kendaraan masih sama dengan sebelum yakni mencicil dari uang sampah. Bagaimana keyakinan Yatno dengan usahanya ini, kepada BB ia mengisahkan asam garam sebagai pemulung sampah.
Pekerjaan sebagai pengangkut sampah ini berawal dari keresahan tetangga mengatasi soal sampah. Setelah berembuk disepakati sampah diangkut dua kali seminggu dan warga wajib membayar iuran sampah. Untuk mengumpulkan sampah, di depan rumah akan diberi keranjang sampah. Keranjang bekas tempat buah itu didapat dari pedagang pasar. “Ketika itu (2008) tidak ada orang yang tertarik melakukan kesepatan warga ini. Untungnya niat saya ini didukung oleh Dinas. Sampah yang sudah dikumpulkan diangkut dengan mobil angkutan sampah Dinas Kebersihan“ kenang Yatno.
Namun siapa sangka, dari pelanggan sebatas tetangga meluas hingga satu desa dan kini sudah seluruh desa dan kelurahan di Kecamatan Tanjungpandan yang terjangkau. Dari kurang 10 rumah pada pertengahan tahun 2010 sudah ada 76 warga yang menjadi langganan Yatno “Untuk jasa angkutan sampah ini warga dikenakan Rp.20.000 per rumah per bulan. Artinya terkumpul dana Rp,1,5 juta. Separuhnya saya belikan tempat sampah “ kenang Yatno.
Tahun 2011, Yatno sudah tidak perlu lagi membayar ongkos mengangkut sampah, sudah tidak tergantung dari kendaraan angkutan sampah Dinas Kebersihan karena sudah ada mobil bekas yang ia kredit. Bukan hanya kendaraan angkutan, ia pun sudah punya asisten. Rupanya, pekerjaan Yatno ini terdengar ke Manager PT.Pelindo II Tanjungpandan, Mohammad Iqbal “Saya akan mendapat bantuan tetapi harus membentuk organisasi dulu. Karena bantuan inilah Saya membantuk Forum Swadaya Masyarakat (FSM) Aik Rayak” katanya. Tahun 2011, Yatno dan Ruswanto membentuk forum swadaya angkutan sampah.
Biar terkesan gagah, logo FSM Aik Rayak dibuat seperti logo komunitas motor besar. Slogan ajakan menangani sampah itu cepat tersebar. Dari hanya sebatas tetangga rumah meluas ke tetangga desa. Selain Lesung Batang (ketika itu belum dimekarkan menjadi Kelurahan dan Desa aik Rayak), sebagain warga Pangkallalang menjadi pelanggan.
Sejak terbentuk FSM Aik Rayak, Yatno makin serius memandang sampah sebagai komoditas dan memastikan rekannya mendapat penghasilan. “Indikasi usaha mengelola sampah mulai terlihat dari penghasilan. Waktu itu sudah ada 100 pelanggan. Memang setelah dihitung hasilnya tidak besar karena harus dikurangi cicilan mobil, membayar gaji. Bahkan saya pernah tidak mendapatkan uang selama 3 bulan“ ungkap Yatno.
Berkat ketekunan dan kesetiaan pada usaha, sumber penghasilan mulai menunjukkan hasil. Pelanggannya bertambah menjadi 154 rumah. “Menginjak tahun 2012 saya mencoba membuat kompos. Belajar dari siapa saja. Hasilnya, saya dijadikan BLHD sebagai mitra“. Selama 10 bulan Yatno ditugaskan BLHD untuk mengolah sampah di TPA Gunung Sadai.
Keberhasilan mengolah sampah itu tidak hanya dilihat dari penghasilan. Usaha yang sudah dirintis sejak tahun 2008 itu sudah memiliki banyak mitra kerja dan jaringan yang makin luas. Ketika usaha ini makin menunjukkan manfaat, rekan Yatno keluar dari FSM dan membuka usaha angkutan sampah sendiri. Namun Yanto tidak menganggap sebagai pesaing “Justru saya bangga, karena Ruswanto juga meyakini sampah itu komoditas” katanya.
Siapa sangka, dari sampah yang menjijikkan, teronggok sebagai barang buangan Yatno bisa menghidupi keluarga. Dengan memadukan ketekunan, rasa ingin tahu dan yakin dengan usaha, Yatno bahkan bisa membuat greenhouse yang menghasilkan sayur-sayuran organik. “Setahun lagi mobil AVP itu juga sudah lunas. Kalau soal greenhouse jangan tanya berapa biayanya. Yang terpenting, orang harus melihatnya bahwa dengan lahan yang terbatas kita bisa bertani”.
Nampaknya, hal-hal yang membuat orang meragu, tak mau ia ceritakan kecuali tip dan trip usaha. “Dari sampah yang dikumpukkan, 40-50 persennya bisa dijadikan kompos. Sedang 20-30% berupa sampah anorganik tapi sampah plastik kan bisa dijual.Sisanya barulah dibuang ke TPA” pungkas Yatno.
Setiap usaha membutuhkan keyakinan. Tidak menggantung diri dengan bantuan orang lain adalah bagian membangun keyakinan. Begitulah Yatno, dengan sampah ia bisa menghidupi keluarga. (fithrorozi)
tidak ada yg tdk berguna tergantng bgmn kita melihat dan memanfaatkanya.