Refleksi Perjalanan Pariwisata Belitong

TANJUNGPANDAN, DISKOMINFO – Jauh sebelum film Laskar Pelangi booming, milling list Belitungisland.com sudah mendiskusikan kemunculan novel fenomenal dengan judul yang sama. Adakah KA.Wachyudi yang memulai diskusi terbitnya novel karya anak Belitong itu. Dan siapa sangka novel ini menjadi best seller dan mendorong pariwisata, sektor yang lama didam-idamkan sejak digaungkannya Visit Indonesia Year 1991. Dunia pariwisata Belitong tiba-tiba menggeliat, wisatawan ramai mendatangi sekolah yang hampir roboh-replika rumah sekolah dalam film.

Rustam Effendi selaku moderator diskusi millinglist (sebutan medsos ketika itu) rela menyisihkan waktunya untuk memberi arti  dari ‘celatu’  urang-urang Belitong di rantau.  Becelatu atau debat bagi merupakan bagian dari tradisi lisan orang Belitung.  Selasan, 28 Maret 2017, www.belitungisland.com  mencoba menghadirkan kembali tradisi lisan dalam bentuk Sarasehan bertajuk ‘Refleksi Perjalanan  Wisata Belitung’ di Pantai Dedaunan, Tanjung Tinggi.

“Kali ini dibalik, bukan pengambil kebijakan yang didepan tetapi pelaku wisata yang bicara” kata Rustam kembali menjadi moderator didunia nyata.  Panitia sengaja menghadirkan Ketua DPC HPI Belitung, Erling Irianto, Manager Hotel Lor In Yanto, pemiliki warung kopi Kongdjie Ishak Holidi, Fithrorozi mewakili penggiat budaya, Manager KUKM Sulaiman Ichsan, Pemiliki outine Ok Keluarga Acoi,  Aktivis Lingkungan Gapabel Jookie Febriansyah  dan Ketua Ikatan Sopir Pariwisata Belitung Suhaili. Sedang duduk bersama kelompok usaha kreatif, tour travel, Ketua IKMB Zukifli Umar, Usmandie Andeska, Kepala Dinas Pariwisata Ir. Hermanto, Wakil Ketua DPRD Isyak Meirobie, Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Belitung Timur Helly Chandra.

Usia 17 tahun tentu banyak hal yang dilewati dalam menjalakan usaha. Namun yang paling bagai mengawali usaha. “Orang tua menjual kopi karena modalnya kecil dan memang ini usaha orang kecil “ ujar Ishak Holidi anak dari pemilik Warung kopi Kongdjie.“ Namun apapun profesi  kita harus  setia dengan profesi kita. Kedua, menganggap pelanggan adalah raja dan ketiga harus  sehat” ujar Ishak menirukan nasehat orang tuanya, Kongdjie.

Beratnya tantangan mengawali usaha juga dirasakan oleh Manager Hotel Lor In yang memuali tugasnya di Belitung tahun 2005. “pada tahun 2009 ami  head to head dengan Pondok Impian. Saat itu mun tak mudah men-drive (mendorong) orang menginap ke Lor In” ungkap Yanto. Namun ia meyakini usaha perhotelan ini pasti  akan berkembang dan  optimisme itu menjadi nyata. Yanto memperkirakan perputaran uang dari hotel (bintang 1 hingga bintang 5) tahun 2016 bisa mencapai sekitar Rp.68 milyar. “Kita bisa hitung kalau  food and beverage mendapat share margin sebesar 40 persen, UKM mendapat 5 persen dan pelaku usaha seperti pramuwisata mendapat  margin 5%. Berapat perputaran uangnya. Itu  belum termasuk homestay, kos-kosan yang tidak bisa dicatat.“

Asumsi-asumi itulah yang menjadi motivator bagi Yanto sekaligus menjawab alasan kenapa memilih terjun ke industri pariwisata. Karena bisnis hotel memiliki daya dorong dan nilai tambah yang begitu besar. Ia mecontoh jika  hotel memiliki 128 kamar setidaknya ada 128 tenaga kerja terserap.

Hal senada juga dirasakan Sulaiman Ichsan dalam mengelola Galeri KUKM. Awalnya galeri ini dibangun sekedar menjalankan program pemerintah. Seiring waktu Ia merasa bertanggungjawab bagaimana membangun masyarakat agar lebih produktif. “Sebenarnya kita baru ini  go (baru fokus melayani wisatawan)  tahun 2010 sedang KUKM berdiri 2008. Ini merupakan bentuk people base economy” ujar Sulaiman yang akrab dipanggil Pak Lai. Dan sejak berdiri tahun 2008 hingga sekarang, omset Galeri KUKM sudah mencapai Rp. 29 milyar yang berasal dari 478 KUKM yang dibina Galeri KUKM bersama dinas teknis.

Jika Pak Lai mengunakan istilah people base economy mendorong produktivitas KUKM, Iswandi Ketua LWG DMO Belitung menggunakan istilah community base tourism untuk mendorong peran masyarakat menciptakan desinasi baru.  “sejak dibentuk oleh Kemenpar tanggal 2 Agustus 2015  sekarang mulai bermunculkan komunitas–komunitas atau desa wisata baru. Seperti Desa Wisata Kuale Sijok, Kelompok Bakau Labun Haji, Komunitas Penangkaran Penyu, Desa Wisata Kreatif Terong. Ini bagian gerakam gerilya DMO yang berharap usaha ini berkelanjutan dan merata”.

Dampak perkembang pariwisata mulai dirasakan pelaku usaha. Ini juga dialami Acoi penerus usaha oleh-oleh. Meski sudah memilik outlet yang cukup ia menyebut masih tahap merangkak. Artinya ada masa yang membuat usahanya berada pada tahap belari cepat. Dan ia meyakini, kesuksesan ini bisa dinikmati bersama begitupun dalam menjalankan usaha“ karena  itu kami berterimakasih dengan pelaku usaha , tour guide, tour travel dan galeri UKMK “ ujar Acoi singkat.

Ditemui terpisah, Andi salah satu wisatawan dari Bandung sempat mengungkapkan, adanya kecenderungan wisatawan yang mulai bosan dengan suasana pantai “Pantai itu sudah given, pemberian Tuhan. Ibarat hardware perlu sofware yang membuat sistem itu berjalan. Nah peran seniman dan budayawan itu adalah sofware akan ada warna dan kreativitas“ ujar Rustam.

Tidak menampik, kawasan pantai dan pesisir menjadi objek yang selalu diincar investor. Disinilah perlu upaya militan menjaga lingkungan pantai khususnya bakau “Kami terinspirasi dengan  Bali. Banyak  masyarakat Bali  terpinggirkan sehingga muncul slogan  ‘Bali Not For Sale’. Belitung belum belum terlambat. Kalau mau maju harus berani menjaga habitatnya. Begitu juga dengan terumbu karang, omong kosong bicara wisata kalau lingkungannya rusak, kapal hisap masuk” ujar Jookie Febriansyah aktivis lingkungan dari Gapabel. Jookie juga menegaskan, dalam membangun pariwisata setidaknya   memperhatikan 3 hal yakni daya dukung lingkungan,  kontribusi kepada masyarakat, dan sinergitas antara pelaku dan penduduk lokal.

Kontribusi kepada masyarakat menjadi penting sebagaimana yang dilakukan Suhaili yang mencoba melibatkan sopir-sopir pelabuhan di sektor pariwisata. Hampir 50 persn anggota Ikatan Sopir Pariwisata Belitung yang ia pimpin merupakan sopir truk dipelabuhan yang beralih profesi sebagai sopir untuk para wisatawan.

Mendengar langsung ‘Pelaku Usaha Bicara’, Ir. Hermanto Kepala Dinas Pariwisata yang membidangi teknis mengakui ada hal yang perlu diperbaiki. Namun ia melihat sisi positif  dalam merefleksikan perjalanan wisata  Belitung. Menurutnya membangun pariwisata membutuhkan keterpaduan dan kebersamaan : Unsur penthalex ( akademisn, businessman, community, goverment dan  media) harus bersatu padu selamanya sesuai peran masing-masing “ ujar Hermanto.

Saraharan berlangsung dari pukul 16:00 berakhir menjelang magrib dan dilanjutkan dengan agenda acara yang dihadiri oleh Wakil Bupati Belitung, Drs. Erwandi A Rani dan tamu undangan dari kalangan pelaku usaha wisatawan baik dari Belitung maupun dari Belitung Timur (fithrorozi)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *