TANJUNGPANDAN, DISKOMINFO – Lebih dari dua puluh tahun lamanya opah Felix berpetualang, mengunjungi satu kampung ke kampung lain di nusantara. Kakek dua cucu kelahiran Jakarta di tahun 1950an ini tampak bangga menjadi profesi sebagai pemandu wisata minat khusus. Profesi yang kurang begitu diminati di tengah maraknya industri wisata saat ini.
Nampaknya Felix Feistma lebih suka memperkenalkan diri provokator. Tugasnya memprovokasi masyarakat untuk mengembangkan desa wisata. “Saya ini provokator masyarakat untuk memberikan nilai dari kehidupan sehari-hari. Mana yang perlu diangkat, mana yang bagus sehingga menjadi atraksi wisata yang natural tidak dibuat-buat dan terjadi sehari-hari tanpa atau dengan adanya wisatawan” ujar opah Felix saat ditemui pada pertemuan yang dihadiri pemangku kepentingan di bidang pariwisata di Hotel Grand Hatika, Tanjungpandan (11/4).
Penampilan opah Felix begitu berbeda dengan peserta-peserta lain. Dengan menggunakan penutup kepala dan kain sarung bermotif tradisional, orang akan mudah menangkap pesan keunikan dari sosok pemandu wisata ini. Tas anyaman dibawanya makin menambah keunikan.
“Tas ini buatan orang dari suku Badui dan merupakan kerajinan dari desa Cipta Gelar, Sukabumi Selatan” ujar opah Felix dengan dialek Sunda yang kental. Meski terlahir di Jakarta, Opah Felix menganggap tanah parahiyangan sebagai tempat ia dibesarkan. Namun dari namanya, kuat dugaan ia bukan berasal dari Sunda atau Betawi.
“Ya memang saya masih keturunan Belanda. Orangtua berasal dari Belanda dan kembali ke Belanda lalu meninggal disana“ ujar anak sulung dari keluarga pemilik pabrik ubin ini berkisah. Felix dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang cukup kaya dan terpandang. Di masa Orde Lama, pabrik ubin papanya memasok proyek-proyek skala besar sebelum akhirnya tutup. Alih-alih mengamati perkembangan pabrik, Felix muda justru lebih tertarik mengamati perilaku orang. Ia betah berlama-lama duduk tak jauh dari Kantor Pos Besar di Bandung.
Semasa muda Felix mengaku anak nakal yang suka berpetualang sebelum akhirnya memantapkan hati untuk menjadi pemandu wisata minat khusus “Ada kepuasaan tersendiri ketika kita mengenal manusia dari seluruh bangsa” alasannya. Ia sama sekali tidak menyesali jalan hidup yang ia pilih. Karenanya ia menolak pekerjaan sebagai pemandu wisata lahir serba kebetulan. “Hidup ini sebuah pilihan dan saya senang memilih profesi sebagai tourguide” tegasnya.
Dengan penampilan bak seniman, siapa sangka Felix pernah mengajar cukup lama di Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung. Kedekatan dengan almamaternya membawa Felix datang kembali untuk kedua kalinya ke Belitung. setelah kunjungan pertama lima belas tahun silam. Ketika masih banyak orang Belanda yang bekerja di perusahaan tambang timah Belitung. Pamannya yang tak lain seorang ekspatriat di perusahaan timah Bangka mengajak Felix mengunjungi lokasi tambang yang dikerjakan oleh kuli tambang Cina ketika itu.
Tentu saja wajah pulau Belitung sangat berbeda dibandingkan saat masih dikuasai oleh perusahaan tambang. Dari kesenangan mengamati perilaku manusia Felix mulai terdorong untuk melihat perilaku dan tradisi suku-suku lain di Indonesia. “Sudah banyak daerah yang telah saya kunjungi dan sekitar 25 suku yang pernah saya temui mulai dari Suku Kubu, Mentawai, Badui, Bugis hingga suku-suku yang ada di Papua. Kalau sekarang ini saya lebih banyak menjadi pemandu bagi peneliti yang ingin mengetahui kawasan adat“ katanya.
Pengetahuan tentang perilaku manusia khususnya ilmu antropologi membuatnya paham karakteristik wilayah dari tempat yang ia kunjungi terutama suku yang ada di Jawa Barat. “Di Jawa Barat itu masih ada yang menganut aliran Sunda Wiwitan. Contohnya Suku Badui Dalam yang hanya memiliki 3 kampung. Badui Dalam dilindungi atau dikelilingi 50 kampung yang merupakan suku Badui Luar. Ada lagi suku terpencil di kawasan Kenekes, desa Cipta Gelar, Sukabumi Selatan. Keberadaan suku ini tercatat dalam sejarah. Jika Badui Dalam anti dengan dunia modern, suku di Cipta Gelar ini ngigelan jaman (mengikuti jaman). Saat kami membawa drone mereka membuat drone juga bahkan lebih kreatif. Mayoritas mereka adalah muslim, mereka akan kembali menjadi Sunda Wiwitan ketika didaulat sebagai pemimpin seperti Abah Ugik dulunya Islam karena diangkat sebagai pemimpin adat Abah Ugik menjalankan ritual Sunda Wiwitan” kata opah Felix berkisah.
Begitupun opah Felix dalam tas anyamannya tampak beberapa smarphone dan tablet. Tak jarang opah Felix harus membekali diri dengan pengetahuan lain yang dibutuhkan oleh wisatawan minat khusus seperti wisata burung yang mengharuskan paham mengenai ontologi “Ada yang hanya berminat pada burung-burung, hanya berminat pada rempah-rempah saja dan kita jadi harus tahu sebagai pemandu wisata minat khusus“ kata opah Felix. Makanya, opah agak heran kenapa tidak banyak yang menekuni profesi pemandu wisata minat khusus (special interest) padahal penghasilan bisa 10 kali lipat dari pemandu wisata umum.
Besok (12/4), opah Felix didaulat menjadi narasumber. Ia merupakan paling tua dari narasumber yang dihadirkan Kementerian Pariwisata RI dalam workshop bertemakan Integrasi Atraksi Wisata Berbasis Masyarakat Dalam Potensi Perjalanan Wisata dan Paket Wisata di Klaster Belitung. Bersama opah Felix (guide senior special interest), ada Karmila Santy (Wakil Ketua ASITA Bangka Belitung), Mohammad Robith (Fasilitator TKDP Belitung), Iswandi (Ketua LWG DMO Belitung) dan Budi Setiawan (Pengelola Atraksi Wisata).
Kementerian Pariwisata menjadikan Felix Feitsma sebagai tenaga ahli guiding teknis (widyaswara pemandu wisata) untuk mengajarkan kepada masyarakat untuk memberi kesadaran untuk berpartisipasi menjadi desa wisata. Kemitraannya dengan Kemenpar ini terbilang cukup lama yakni diluncurkannya Program PNPM Mandiri.
Penyuka antropologi ini memiliki keahlian menginterpretasikan perilaku dan fenomena kehidupan masyarakat. “Intepretasi merupakan bidang ilmu komunikasi yang bisa menjelaskan makna dari sesuatu seperti simbol-simbol atau fenomena kehidupan mulai dari anak kecil hingga yang sudah tua. Dari tradisi dan budaya masyarakat kita bisa mengenal watak manusia“ ujar opah Felix.
Ia mencontohnya mitologi dalam pertanian. Petani di Jawa umumnya percaya dengan keberadaan Dwi Sri. “Ada alat untuk memotong padi namanya ani-ani sepintas seperti disembunyikan. Ini karena Dewi Sri tidak suka anak-anaknya (padi) dipotong. Ia rela dimakan burung, tikus karena memberikan kehidupan bagi mahkluk lain. Dwi Sri hanya memperolehkan memetik tetapi tidak banyak. Karena itu orang yang menggunakan ani-ani itu seperti memetik padahal memotong. Begitulah watak manusia, penuh dengan kecurangan” ungkap opah Felix.
Melihat penampilan dan kemampuan opah Felix, teringat dengan sosok Sar’ie, penggiat Budaya dari desa Kembiri yang pernah dijuluki ‘profesor‘ dari peneliti senior LIPI Erwiza Erman. Bedanya, opah Felix membagikan ilmunya hingga melintas pulau sedang Sar’ie hanya berdiam di Kembiri. Jika datang peneliti atau mahasiswa, cepat-cepat ia pulang dari huma. (fithrorozi)