ABSTRAKSI
Masyarakat Belitong dapat dikategorikan sebagai kelompok etnis Melayu yang pada kehidupan kesehariannya tidak lepas dari keterikatan dengan alam baik lingkungan darat maupun perairan. Interaksi masyarakat dengan kedua ekosistem darat dan perairan (tawar dan asin) sudah begitu akrab sehingga mereka sangat mengenal lantas menghargai. Penghargaan itu diwujudkan dalam bentuk pengelolaan dan pelestarian lingkungan sekitar.
Dalam perjalanan kehidupan masyarakat Melayu berinteraksi dengan lingkungan sekitar dan menemukan banyak hal dan dimanfaatkan untuk menunjang kehidupan mereka. Temuan itu mereka perbaiki baik kuantitas maupun kualitas. Penemuan-penemuan inilah yang kemudian sering disebut dengan istilah pengetahuan lokal (local knowledge).
Pengetahuan asli tersebut pada masa kini sudah mulai ditinggalkan hanya tinggal beberapa saja yang masih kita amati saat ini. Bertitik tolah maka perlu kiranya pengetahuan lokal dibangkitkan dan diwariskan sebagai sistem pengetahuan dan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat saat ini.
Key words : produktivitas, pengetahuan lokal, pengenalan kembali
PENDAHULUAN
Dalam masyarakat dikenal dikenal beberapa istilah bulan mencakup 1. sapar mula, 2, pit lema, 3, pit keras, 4, palai, 5.nyior, 6. tungkus, 7.paka’, 8. kelambu, 9. tuk panjang, 10.tuk penji, 11. ngantongkan sindok, 12, sapar sudah. Penyebutan nama bukan dijadikan dasar penyusunan kalender agroklimat. Bagi masyarakat yang hidup di lingkungan agraris nama-nama itu sangat penting dalam menetapkan awal tanam.
BASIS PENGETAHUAN AGRARIS
Pengetahuan masyarakat Melayu Belitong dalam serta pengetahuan tentang tata letak bintang (astronomi) dalam masyarakat yang dekat dengan lingkungan perairan sudah mendarah daging dalam kehidupan mereka sehingga dijadikan kalender bulan yang mendekati sistem kalender Masehi walaupun penetapan tahun awalnya berbeda karena kebutuhannya terkait dengan masa tanam.
Nama bulan-bulan tersebut menggambarkan curah hujan dan intensitas matahari sepanjang tahun, semisal bulan palai. Bulan palai menunjukkan puncak kemarau yang bila disamakan dengan periodisasi bulan Masehi terjadi pada bulan Agustus. Pada bulan palai masyarakat biasanya membakar hasil tebasan yang sudah kering. Sedang waktu tebasan dilakukan pada pit keras. Dan akan dilanjutkan dengan menugal (membuat lubang benih) pada bulan nyiur (awal tanam).
BASIS PENGETAHUAN MARITIM
Begitupun dengan persoalan pasang surut air laut dan peredaran bulan dan matahari terhadap bumi. Pembagian dikelompokan kedalam empat kelompok besar antara lain, mungkak, bubongan, ngurang dan taruk. Atas pengetahuan itu, masyarakat Melayu Belitong membuat keputusan kapan saat yang tepat untuk pergi (bekerja) di laut.
Pemahaman mereka yang bekerja di sektor kelautan tersebut juga dilakukan mereka yang bekerja di darat. Kapan waktunya, saat bulan bagaimana mereka bisa menebang pohon, marang (memotong) daun sagu, dan menebang untuk mengambil saripati pohon sagu sehingga energi yang dikeluarkan menjadi produktif.
TATA NAMA
Pengelompokkan jenis tanaman dan hewan yang berlaku dalam masyarakat lokal ternyata memiliki kemiripan dengan pola penamaan dalam taksonomi modern, seperti pengelompokkkan nama suku medang-medang yakni medang luwer, medang beduke, medang kalong, medang lilin, medang lubang, medang bau. Nama-nama yang dikenal oleh masyarakat lokal tersebut ternyata dalam ilmu taksonomi juga digolongkan dalam kelompok yang sama, yakni famili Lauraceae dengan genus Litsea atau neo-Litsea. Begitupun pada tumbuhan pelawan. Pelawan pupor, pelawan tudak, pelawan kiring (Taksonomi : Tristania) . Betor rambai, betor belulang, betor padi (Taksonomi : Callophylum)
Pada hewan air, banyak penanaman yang lebih rinci dari masyarakat di daerah lain di Indonesia. Misalnya giant traveli (barat), dalam masyarakat Melayu Belitong adalah ikan bulat yang dirinci lagi menjadi bulat biase, bulat batang, dan keduanya memang berbeda spesies. Begitupun nama mamong, tupak, rintik. Penampakannya sama tetapi spesiesnya berbeda.
Akses sumberdaya mempengaruhi pewarisan pengetahuan lokal. Struktur lapangan menjadi pemicu dari keterabaian akses sumberdaya tersebut. Hal ini terjadi pada profesi pengguling. Seorang pengguling (bidan kampung) umumnya mengetahui obat-obatan herbal, proses persalinan yang mendukung bagi kesehatan ibu dan anak. Jika dilihat dari pengetahuan mereka. Sayang tidak ada keseragaman (sistematik ter-ilmiah-kan) pengetahuan persalinan mereka. Namun anggapan status pengguling dengan cara-cara tradisional yang tidak mengadopsi pengetahuan modern kerap dituding sebagai penyebab kematian ibu dan anak. Sehingga perlu penyelasaran istilah, proses dalam dunia kebidanan perlu dilakukan seperti halnya persoalan taksonomi dan penamaan tanaman oleh masyarakat lokal.
Uraian argoklimat semestinya membangkitkan basis agraris yang menjadi ciri masyarakat tradisional. Hal ini hendaknya menjadi inspirasi bagi pembuat kebijakan pemerintah khususnya kebijakan di sektor pertanian.
PRODUKTIVITAS.
Reduksi terhadap sistem pengetahuan ini terkait dengan struktur masyarakat logis dan religius. Ada memang yang percaya pada sistem keyakinan (kepercayaan) tetapi secara logis pengetahuan ini terkait dengan pengembangan teknologi masyarakat.
Teknologi tidak hanya terkait dengan bidang metalurgi atau benda pabrikasi yang memanfaatkan mineral tambang. Dalam perspektif masyarakat lokal, teknologi muncul didasarkan atas sesuatu yang alamiah seperti gantang sebagai bentuk teknologi penyimpanan. Semestinya teknologi memang tidak mesti dilihat dari aspek fisik tetapi berpijak pada konseptual. Kelemahan kita adalah selalu mendasari sesuau pada bentuk fisik, sehingga kita mengabaikan konsep tradisional yang sudah berkembang. Mitos yang ada sebenarnya peluang kita mensejajarkan pengetahuan lokal dan modern. Bagaimana mitos antu berasuk dikaitkan dengan pengembangan populasi hewan, antu kayu are dikaitkan dengan tata guna lahan dan masih banyak mitos yang bisa diambil saripati keilmuannya.
Di bidang lain (pengawetan makanan) terlihat pada proses fermentasi seperti pekasam, ikan peda’, tepung rap, rusip. Pengenalan jenis tumbuhan yang dikaitkan dengan proses pengawetan seperti kulit pelepak untuk menjaga jangan sampai legen (air nira) menjadi basi keesokan hari sebelum sempat dimasak. Mereka juga menggunakan kulit pohon kiras jangan sampai terfermentasi secara alami menjadi alkohol. Ini menunjukkan adanya pemahanan terhadap dunia mikrobiologi. Karena secara tidak langsung mereka mengenal sifat-sifat bakteri perubah yang mengakibat fermentasi.
Contoh lain proses pembuatan minyak goreng. Masyarakat menggunakan bahan utama dari buah kelapa dan mereka bisa menemukan cara bagaimana mempertahankan kulitas kelapa dari ke-tengik-an. Umumnya ke-tengik-an merupakan masalah utama dalam produksi minyak goreng.
PENUTUP
Banyak bidang pengetahuan yang sudah dilupakan terutama terkait sistem sosial, ekologi dan teknologi. Pengetahuan ini sesungguhnya terintegrasi dan berkelanjutan seperti pada proses pembuatan makanan, pencagaran sumber bahan makanan, pembagian areal dan lanskap pertanian. Pergiliran ini juga terlihat dalam pembagian lanskap pasca penanaman tanaman pokok misalnya lanskap rimbak-huma-rebak-kuburan-kelekak usang.
Dengan demikian upaya pengenalan kembali menjadi keharusan. Namun cara pandang masyarakat terhadap pengetahuan lokal ini sangat rendah. kontra produktif karena iklim keilmuan ini masih terbatas pada bentuk fisik tidak konseptual atau rendahnya penghargaan terhadap sistem nilai yang hidup dalam sosio-ekologi masyarakat Melayu Belitong. (Marwan Hasan)
Catatan : Materi ini merupakan materi pengantar diskusi Sarasehan Makan Bedulang, diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Belitung, disarikan dari pemikiran masyarakat lokal
sumber: buletin belitong