Akhir-akhir ini Pemda dan beberapa institusi tingkat pusat disibukkan dengan wacana dan pengembangan pelayanan publik berbasis smart city. Diskursus ini juga telah menarik perhatian banyak pihak, mulai dari kalangan praktisi, akademisi bahkan kalangan bisnis. Lalu apa yang dimaksud dengan smart city sebenarnya?
Secarah harfiah smart city berarti kota cerdas, artinya sebuah kota yang memiliki kemampuan dan pengetahuan menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapinya. Kota Cerdas merujuk pada kota, dimana sebuah skala kehidupan intens dan dinamis. Awal mula kemunculan konsep ini dari IBM pada tahun 2008. Ketika itu IBM menggagas sebuah konsep kota cerdas yang merupakan bagian dari Smarter Planet initiative. Versi IBM sebuah smart city adalah sebuah kota yang instrumennya saling berhubungan dan berfungsi cerdas.
Berbicara tentang smart city atau kota cerdas, kiranya perlu diperjelas pemahaman kita tentang makna “smart” atau “cerdas” itu sendiri. Arti cerdas menurut Nam & Pardo (dalam Djunaedi, 2014) adalah: (1) dalam bidang perencanaan kota, “cerdas” diartikan sebagai strategis, terutama dalam memilih prioritas, arah, kebijakan dan sebagainya, dan (2) terkait teknologi, maka “cerdas” mengandung prinsip komputasi otomatis (selfconfiguration,selfhealing, self-protection, self-optimization)yang ditunjukkan antara lain memiliki sensors dan actuators.
Sensor ini merupakan instrumen yang menunjukan kepekaan terhadap persoalan perkotaan yang sedang terjadi. Sedang terjadi berarti realtime, sehingga disebut cerdas. Hal ini tampaknya sejalan dengan paradigma pelayanan publik baru yang menuntut kepekaan dan kecepatan. Selanjutnya Djunaedi menyatakan bahwa secara sederhana sebuah kota cerdas (smart city) adalah kota yang sistem manajemen kotanya secara otomatis mampu memberitahu bahwa sedang timbul suatu masalah perkotaan, bahwa akan timbul suatu masalah perkotaan, dan sistem manajemen perkotaan mampu memberikan usulan tindakan otomatis atau tidak-otomatis untuk mengatasi masalah tersebut.
Kota cerdas memang didukung oleh penggunaan teknologi informasi dan komunikasi secara terintegrasi, dimana teknologi komputasi digunakan secara cerdas. Cerdas disini berarti adanya penggunaan instrumen sensor yang peka dan cepat dalam mengelola informasi baik untuk mengambil keputusan maupun mengambil tindakan (take action).
Memang perkembangan teknologi yang begitu pesat dan yang juga telah mendisrupsi ekonomi telah memukau banyak pihak. Keterpukauan ini telah menimbulkan sikap latah dan berlomba-lomba dari beberapa instansi pusat dan Pemda untuk menerapkan apa yang disebut dengan smart city.Tetapi harus diingat bahwa smart city bukanlah sekedar persoalan menggunakan teknologi. Apabila smart city dianggap sebagai puncak dari pengembangan e-government, maka e-government itu bukanlah persoalan “e” (electronic) tetapi persoalan government, persoalan pemerintahan.
Teknologi sendiri merupakan instrumen atau alat. Teknologi memang dapat membuat pekerjaan manusia menjadi lebih cepat, tepat dan akurat. Dengan teknologi membuat kita mampu mengerjakan segala sesuatunya menjadi lebih baik. Teknologi itu berfungsi sebagai “enabler” instrumen yang membuat kita memiliki kapasitas yang lebih besar dalam bekerja dan memperoleh kualitas yang lebih bernilai.
Pengembangan smart city harus dikaji betul penerapannya. Ada proses dan tahapan yang harus dilalui. Ada sistematika yang harus ditaati. Penerapan smart city bukanlah sekedar digitasi dari proses dan prosedur yang ada, tetapi justru titik krusialnya adalah bagaimana kita memperbaiki proses bisnis dalam pemerintahan itu sendiri.
Mendigitasi tanpa memperbaiki proses bisnis pemerintahan maka akan sia-sia belaka. Semangat untuk menerapkan smart city, jangan samapi mendorong kita masuk “project trap” yang memboroskan anggaran. Sebagai contoh Pemda ingin membeli peralatan teknologi yang paling muktahir dan terbaru, sudah pasti harga dari vendor-nya mahal, implikasinya memerlukan anggaran yang besar. Padahal ketahuilah bahwa apa yang saat ini dianggap teknologi paling canggih, 1 atau 2 tahun kemudian menjadi barang ketinggalan zaman dan harganya merosot tajam.
Langsung memprogramkan berbagai sistem informasi atau aplikasi sampai puluhan bahkan ratusan jenis aplikasi (ingat kota Bandung konon katanya punya 394 jenis lebih) bukanlah program yang tepat. Mengapa?
Pertama, sistem informasi yang baik seharusnya terintegrasi bukan parsial, tidak perlu banyak yang penting terintegrasi.
Kedua, aplikasi dibuat berdasarkan kebijakan prosedur atau proses bisnis yang sekarang ada atau eksis. Padahal kita tahu persis bahwa banyak prosedur yang saat ini ada sangat rumit, bertele-tele dan berbelit-belit. Pengembangan sistem informasi dan membuat aplikasi haruslah didahului dengan deregulasi terhadap kebijakan-kebijakan yang mengatur proses dan prosedur tata kelola pemerintahan. Deregulasi itupun bukan sekedar menyederhanakan kebijakan, tetapi harus dibuat berdasarkan paradigma ataupun mindsetmasa kini. Tidak tepat membuat kebijakan baru berdasarkan mindset masa lalu.
Jadi pengembangan smart city tidaklah bisa gebyah uyah, bisa-bisa salah langkah dan memboroskan anggaran daerah. Pengembangan smart city harus dilakukan dengan tahapan dan langkah yang jelas dimulai dengan penyusunan master plan dan melibatkan segenap stakeholders. Apabila tahapan yang benar dilakukan maka maksud untuk membangun kota cerdas, aman dan nyaman mudah-mudahan terwujud.
Sumber: kompasiana.com
Foto: internetofthingsagenda.techtarget.com